A. Hipotesis Penelitian
Hipotesis
Penelitian adalah jawaban sementara terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Hipotesis dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang, misalnya secara
etimologis, teknis, statistik, dan lain sebagainya. Umumnya pengertian yang
banyak digunakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara penelitian. Baiklah,
kita akan bahas lebih dalam dan berikan contoh-contoh hipotesis tersebut.
1. Pengertian Hipotesis Menurut Para Ahli
Berikut
beberapa pengertian hipotesa berdasarkan para ahli atau pakar:
· Secara etimologis, hipotesis berasal dari dua
kata hypo yang berarti “kurang dari” dan thesis yang berarti pendapat. Jadi,
hipotesis adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang belum final, yang harus
diuji kebenarannya (Djarwanto, 1994 : 13).
· Hipotesis adalah suatu pernyataan sementara
yang diajukan untuk memecahkan suatu masalah, atau untuk menerangkan suatu
gejala (Donald Ary, 1992 : 120).
· Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap
masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris (Moh.Nazir,
1998: 182).
· Secara teknis, hipotesis adalah pernyataan
mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang
diperoleh dari sampel penelitian (Sumadi Suryabrata, 1991 : 49).
· Secara statistik, hipotesis adalah pernyataan
mengenai keadaan parameter yang akan diuji melalui statistik sample (Sumadi
Suryabrata, 2000 : 69).
· Ditinjau dalam hubungannya dengan variabel
penelitian, hipotesis adalah pernyataan tentang keterkaitan antara
variabel-variabel (hubugan atau perbedaan antara dua variabel atau lebih).
· Ditinjau dalam hubungannya dengan teori ilmiah,
hipotesis adalah deduksi dari teori ilmiah (pada penelitian kuantitatif) dan
kesimpulan sementara sebagai hasil observasi untuk menghasilkan teori baru
(pada penelitian kualitatif).
Maka dapat kita simpulkan aecara umum, definisi
atau pengertian Hipotesis secara epistemologis adalah sebuah kata yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu berasalah dari kata “hypo” yang artinya adalah di
bawah serta kata “thesis” yang artinya adalah pendirian, pendapat atau
kepastian.
Dari pengertian secara epistemologis tersebut,
kita dapat membuat sebuah gambaran bahwa hipotesis adalah jawaban sementara
terhadap suatu permasalahan yang sifatnya masih praduga atau menduga-duga,
sebab masih harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya kemudian melalui
sebuah riset atau penelitian.
Pendapat lain tentang hipotesa menurut para
ahli adalah: Hipotesis ialah sebuah pendapat atau opini yang kebenarannya masih
diragukan dan masih harus diuji untuk membuktikan kebenarannya tersebut melalui
sebuah percobaan. Jika kemudian percobaan yang dilakukan tersebut terbukti
kebenarannya, maka hipotesa tersebut dapat disebut sebagai teori.
B.
Prosedur
Pengujian Hipotesis
Prosedur pengujian hipotesis statistic adalah langkah-langkah yang
di pergunakan dalam menyelesaikan pengujian hipotesis tersebut. Berikut ini
langkah-langkah pengujian hipotesis statistic :
1.
Menentukan Formulasi Hipotesis
Formulasi atau perumusan hipotesis statistic dapat di bedakan atas
dua jenis, yaitu sebagai berikut :
a.
Hipotesis
nol / nihil (HO)
Hipotesis nol adalah hipotesis yang dirumuskan sebagai suatu
pernyataan yang akan di uji. Hipotesis nol tidak memiliki perbedaan atau
perbedaannya nol dengan hipotesis sebenarnya.
b. Hipotesis alternatif/ tandingan (H1/ Ha)
Hipotesis
alternatif adalah hipotesis yang di rumuskan sebagai lawan atau tandingan dari
hipotesis nol. Dalam menyusun hipotesis alternatif, timbul 3 keadaan berikut.
· H1 menyatakan bahwa harga parameter lebih besar
dari pada harga yang di hipotesiskan. Pengujian itu disebut pengujian satu sisi
atau satu arah, yaitu pengujian sisi atau arah kanan.
· H1 menyatakan bahwa harga parameter lebih kecil
dari pada harga yang di hipotesiskan. Pengujian itu disebut pengujian satu sisi
atau satu arah, yaitu pengujian sisi atau arah kiri.
· H1 menyatakan bahwa harga parameter tidak sama
dengan harga yang di hipotesiskan. Pengujian itu disebut pengujian dua sisi
atau dua arah, yaitu pengujian sisi atau arah kanan dan kiri sekaligus.
Secara umum, formulasi hipotesis dapat di
tuliskan :
Apabila hipotesis nol (H0) diterima (benar)
maka hipotesis alternatif (Ha) di tolak. Demikian pula sebaliknya, jika
hipotesis alternatif (Ha) di terima (benar) maka hipotesis nol (H0) ditolak.
2. Menentukan Taraf Nyata (α)
Taraf
nyata adalah besarnya batas toleransi dalam menerima kesalahan hasil hipotesis
terhadap nilai parameter populasinya. Semakin tinggi taraf nyata yang di
gunakan, semakin tinggi pula penolakan hipotesis nol atau hipotesis yang di uji,
padahal hipotesis nol benar. Besaran yang sering di gunakan untuk menentukan
taraf nyata dinyatakan dalam %, yaitu: 1% (0,01), 5% (0,05), 10% (0,1),
sehingga secara umum taraf nyata di tuliskan sebagai α0,01, α0,05, α0,1.
Besarnya nilai α bergantung pada keberanian pembuat keputusan yang dalam hal
ini berapa besarnya kesalahan (yang menyebabkan resiko) yang akan di tolerir.
Besarnya kesalahan tersebut di sebut sebagai daerah kritis pengujian (critical
region of a test) atau daerah penolakan ( region of rejection). Nilai α yang
dipakai sebagai taraf nyata di gunakan untuk menentukan nilai distribusi yang
di gunakan pada pengujian, misalnya distribusi normal (Z), distribusi t, dan
distribusi X². Nilai itu sudah di sediakan dalam bentuk tabel di sebut nilai
kritis.
3. Menentukan Kriteria Pengujian
Kriteria
Pengujian adalah bentuk pembuatan keputusan dalam menerima atau menolak
hipotesis nol (Ho) dengan cara membandingkan nilai α tabel distribusinya (nilai
kritis) dengan nilai uji statistiknya, sesuai dengan bentuk pengujiannya. Yang
di maksud dengan bentuk pengujian adalah sisi atau arah pengujian.
a. Penerimaan Ho terjadi jika nilai uji
statistiknya lebih kecil atau lebih besar daripada nilai positif atau negatif
dari α tabel. Atau nilai uji statistik berada di luar nilai kritis.
b. Penolakan Ho terjadi jika nilai uji
statistiknya lebih besar atau lebih kecil daripada nilai positif atau negatif
dari α tabel. Atau nilai uji statistik berada di luar nilai kritis.
4. Menentukan Nilai Uji Statistik
Uji
statistik merupakan rumus-rumus yang berhubungan dengan distribusi tertentu
dalam pengujian hipotesis. Uji statistik merupakan perhitungan untuk menduga
parameter data sampel yang di ambil secara random dari sebuah populasi.
Misalkan, akan di uji parameter populasi (P), maka yang pertama-tam di hitung
adalah statistik sampel (S).
5. Membuat Kesimpulan
Pembuatan
kesimpulan merupakan penetapan keputusan dalam hal penerimaan atau penolakan
hipotesis nol (Ho) yang sesuai dengan kriteria pengujiaanya. Pembuatan
kesimpulan dilakukan setelah membandingkan nilai uji statistik dengan nilai α
tabel atau nilai kritis.
· Penerimaan Ho terjadi jika nilai uji statistik
berada di luar nilai kritisnya.
· Penolakan Ho terjadi jika nilai uji statistik
berada di dalam nilai kritisnya.
Kelima langkah pengujian hipotesis tersebut di
atas dapat di ringkas seperti berikut.
Langkah 1 : Menentukan formulasi hipotesis nol
(H0) dan hipotesis alternatifnya (Ha)
Langkah 2 : Memilih suatu taraf nyata (α) dan
menentukan nilai table.
Langkah 3 : Membuat criteria pengujian berupa
penerimaan dan penolakan H0.
Langkah 4 : Melakukan uji statistic
Langkah 5 : Membuat kesimpulannya dalam hal
penerimaan dan penolakan H0.
C. Rumusan hipotesis
a. Hipotesis deskriptif (pernyataan)
suatu
dugaan atau pernyataan sementara tentang nilai suatu variabel mandiri. Artinya
tidak membuat suatu perbandingan atau hubungan
Contoh :
Suatu puskesmas
manyatakan pada periode tertentu, jumlah penduduk di wilayah kerjanya yang
mencari pengobatan pada sarana kesehatan adalah paling banyak 47%
Maka hipotesisnya ditulis :
·
Ho = μ ≤ 0,47
·
Ha =μ ≥ 0,47
b. Hipotesis komparatif (perbedaan)
suatu
pernyataan sementara yang menunjukkan dugaan nilai pada satu variabel atau lebih
pada sampel yang berbeda
Contoh :
Tidak terdapat perbedaan daya tahan tubuh
antara pria dan wanita terhadap penyakit influenza. Pernyataan ini, hipotesisnya ditulis :
· Ho = μ1 = μ2
· Ha = μ1 ≠ μ2
Daya tahan tubuh balita pria sama dengan balita
wanita terhadap penyakit influenza. Pernyataan ini, hipotesisnya ditulis :
· Ho =
μ1 ≥ μ2
· Ha =
μ1 < μ2
c. Hipotesis asosiatif (hubungan)
suatu pernyataan sementara yang menunjukkan
dugaan akan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih
Contoh :
Apakah ada hubungan antara ibu perokok dengan berat badan lahir rendah ?
Rumusan hipotesisnya :
• Ho
= μ = o
• Ha
= μ ≠ o
D. Kesalahan Pengambilan Keputusan
Dalam pengujian hipotesis kita selalu
dihadapkan suatu kesalahan pengambilan keputusan. Ada dua jenis kesalahan
pengambilan keputusan dalam uji statistik, yaitu:
a. kesalahan tipe alpha
b. Kesalahan tipe beta
Untuk penjelasan lebih jelasnya perhatikan
berikut ini :
a. Kesalahan Tipe I (alpha)
Merupakan
kesalahan menolak Ho padahal sesungguhnya Ho benar. Artinya: menyimpulkan
adanya perbedaan padahal sesungguhnya tidak ada perbedaan. Peluang kesalahan
tipe satu (I) adalah atau sering
disebut Tingkat signifikansi (significance level). Sebaliknya peluang untuk
tidak membuat kesalahan tipe I adalah sebesar 1- , yang disebut dengan Tingkat Kepercayaan (confidence
level).
Kesalahan
tipe pertama ini merupakan sebuah kesalahan bila menolak Hipotesis nol (Ho)
yang benar atau dalam artian hipotesis tersebut harusnya diterima. Pada saat
meneliti suatu hipotesis dan akhirnya menolak hipotesis tersebut tanpa
memeriksa terlebih dahulu bahwa hipotesis yang di uji telah memenuhi
persyaratan dasar untuk menjadi valid. Ketika seorang peneliti melakukan hal
tersebut maka hipotesis akan menyebabkan kesalahan tipe I. Kesalahan tipe I
atau kesalahan jenis pertama juga dikenal sebagai "false positive".
Cara sederhana untuk melihat kesalahan semacam ini sangat mencerahkan. Salah
satu contoh dalam investigasi kriminal, hipotesis nol adalah bahwa terdakwa
sebenarnya tidak bersalah, yang akan membuat alternatif bahwa ia akan bersalah.
Jadi, yang akan menjadi kesalahan tipe I dalam skenario spesifik ini adalah
karena dalam kesalahan tipe I kami menolak hipotesis nol dan dalam kasus ini,
seperti yang telah dikatakan, hipotesis nol adalah bahwa orang ini tidak
bersalah, ini berarti bahwa ia akan dinyatakan bersalah dan dikirim ke penjara.
Karena menolak hipotesis nol yang sebenarnya benar maka ini akan menjadi
kesalahan tipe pertama.
Saat
sedang menguji apakah obat eksperimental bisa efektif dalam mengobati penyakit
tertentu. Dalam contoh ini, hipotesis nol adalah bahwa obat tersebut tidak
efektif dalam menyembuhkan penyakit ini. Jika kami menolak, kami akan mengklaim
bahwa obat ini memang efektif, tetapi jika kami menolak hipotesis nol, kami
akan mengklaim bahwa obat ini yang kami uji coba dapat menyembuhkan penyakit
ini, padahal sebenarnya obat itu sama sekali tidak efektif dalam melakukannya.
Sekali lagi, ini akan menjadi kesalahan tipe I. Sebenarnya ada banyak contoh
untuk kesalahan tipe pertama, yang menjadi inti dari terjadinya kesalahan ini
adalah bagaimana seseorang menarik kesimpulan dari sebuah hipotesis nol yang
sebenarnya benar namun menolak hipotesis tersebut.
b. Kesalahan Tipe II (Betha)
Merupakan kesalahan tidak menolak Ho padahal
sesungguhnya Ho salah. Artinya: menyimpulkan tidak ada perbedaan padahal
sesungguhnya ada perbedaan. Peluang untuk membuat kesalahan tipe kedua (II) ini
adalah sebesar . Peluang untuk
tidak membuat kesalahan tipe kedua (II) adalah sebesar 1- , dan dikenal sebagai Tingkat Kekuatan Uji
(power of the test).
Tentunya berbeda dengan kesalahan tipe pertama.
Kesalahan tipe kedua ini merupakan kebalikannya. Dimana kesalahan ini adalah
sebuah kesalahan bila menerima hipotesis nol (Ho) yang salah atau seharusnya
menolak hipotesis tersebut. Seorang peneliti menolak secara sadar sebuah
hipotesis namun pada saat menguji
hipotesis tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya dan maka itu akan
menerima hipotesis secara keliru.
Salah satu contoh yang akan menghasilkan
kesalahan tipe kedua adalah ketika sebuah hipotesis nol bernilai salah, namun
ketika menarik kesimpulan lalu menerima hipotesis tersebut akan menghasilkan
kesalahan tipe kedua.
Berdasarkan hal tersebut, maka hubungan antara
keputusan menolak atau menerima hipotesis dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari tabel di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Keputusan menerima hipotesis nol yang benar,
berarti tidak membuat kesalahan.
2. Keputusan menerima hipotesis nol yang salah,
berarti terjadi kesalahan tipe II.
3. Keputusan menolak hipotesis nol yang benar,
berarti terjadi kesalahan tipe I.
4. Keputusan menolak hipotesis nol yang salah,
berarti tidak membuat kesalahan.
c.
Menentukan
Tingkat Kemaknaan (Level Of Significance)
Tingkat kemaknaan, atau sering disebut dengan nilai , merupakan
nilai yang menunjukkan besarnya peluang salah dalam menolak hipotesis nol.
Nilai merupakan batas toleransi
peluang salah dalam menolak hipotesis nol. Nilai merupakan nilai batas maksimal kesalahan menolak Ho. Nilai dapat diartikan pula sebagai batas maksi
Dalam pengujian hipotesis kebanyakan digunakan kesalahan tipe I yaitu berapa
persen kesalahan untuk menolak hipotesis nol (Ho) yang benar (yang seharusnya
diterima). Prinsip pengujian hipotesis yang baik adalah meminimalkan nilai α
dan β. Dalam perhitungan, nilai α dapat dihitung sedangkan nilai β hanya bisa
dihitung jika nilai hipotesis alternatif sangat spesifik. Pada pengujian
hipotesis, kita lebih sering berhubungan dengan nilai α. Dengan asumsi, nilai α
yang kecil juga mencerminkan nilai β yang juga kecil. Menurut Furqon
(2004:167), kedua tipe kekeliruan tersebut berhubungan negatif (berlawanan
arah). Para peneliti biasanya, secara konservatif menetapkan sekecil mungkin
(0,05 atau 0,01) sehingga meminimalkan peluang kekelliruan tipe I. Dalam hal
ini, mereka beranggapan bahwa menolak hipotesis nol yang seharusnya diterima
merupakan kekeliruan yang serius mengingat akibat yang ditimbulkannya. Namun perlu
diingat dalam menetapkan taraf signifikansi kita harus melihat situasi
penelitian.
Yang kita ketahui bumi memang berbentuk bola. Nah, kalau kita
menolak bumi berbentuk, berarti bumi berbentuk kubus. Sedangkan, jika kita
menolak bumi berbentuk kubus, berarti bumi berbentuk bola. Jelas di sini bahwa
kesalahan tipe I lebih “mahal” dibandingkan dengan kesalahan tipe II. Jika si
peneliti menolak menyimpulkan bumi berbentuk kubus—artinya sama dengan
mendukung simpulan bahwa bumi berbentuk bola, maka kesalahannya menyimpulkan
itu tidak “mahal” sama sekali karena bumi memang berbentuk bola. Artinya,
walaupun ia menolak Ha, kesalahannya tidak berbahaya sama sekali.
Contoh lain misalnya masalah titik didih air. Fakta yang ada
menunjukkan bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat C. Seorang peneliti ingin
tahu apakah ada air yang mendidih pada suhu di bawah 100 derajat C. Hipotesis
nol adalah: “Air mendidih pada suhu 1000C”; hipotesis alternatif, “Air mendidih
pada suhu di bawah 100 derajat C. Risiko atau biaya kesalahan tipe I, menolak
air fakta bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat C, lebih besar daripada
kesalahan tipe II, menolak air mendidih pada suhu di bawah 100 derajat C. Jelas
bahwa kesalahan tipe I lebih “berbahaya” daripada kesalahan tipe II. Manusia pada
dasarnya memiliki kejujuran, namun ada manusia yang tidak jujur. Jika dibuat
menjadi hipotesis penelitian, maka hipotesis nol, “Setiap manusia bersifat
jujur”; sedangkan hipotesis alternatif, “Ada manusia yang tidak jujur”.
Yang pertama, mengatakan manusia jujur sebagai manusia yang tidak
jujur, berarti menolak hipotesis nol. Sehingga, kesalahan menolak hipotesis nol
adalah kesalahan tipe I. Sedangkan yang kedua, mengatakan manusia yang tidak
jujur sebagai manusia jujur, berarti menolak hipotesis alternatif. Artinya,
kesalahan menolak hipotesis alternatif adalah kesalahan tipe II.
Contoh lain, manusia secara kodrati adalah makhluk yang setia
kepada pasangannya. Namun, selalu ada manusia yang tidak setia kepada
pasangannya. Hipotesis nol, “Setiap manusia setia kepada pasangannya”;
hipotesis alternatif, “Ada manusia yang tidak setia kepada pasangannya”. Mana
yang lebih berbahaya, tidak jadi mengawini seseorang yang sebenarnya setia
(menolak hipotesis nol) ataukah mengawini seseorang yang sebenarnya tidak setia
(hipotesis alternatif)? Jelas lebih baik tidak mengawini siapapun daripada
harus mengawini orang yang tidak setia sama sekali!
Dua contoh yang pertama tentang bumi dan air terjadi di bidang ilmu
alam sedangkan yang dua contoh terakhir terjadi di bidang ilmu sosial.
Pelajaran di sini adalah bahwa, ternyata, kedua cabang ilmu itu tidak bisa
dipandang dengan kacamata yang sama. Seorang peneliti di ilmu alam: fisika,
biologi, kimia, dll, akan berusaha menghindari kesalahan tipe I karena risiko
atau konsekuensinya lebih mahal dibandingkan dengan kesalahan tipe II.
Sebaliknya, peneliti di ilmu sosial: ekonomika, bisnis, psikologi, dll, lebih
memilih menghindari kesalahan tipe II karena biayanya lebih mahal dibandingkan
dengan kesalahan tipe I.
Namun, simpulan itu tidak sepenuhnya sesuai untuk ilmu hukum
terutama jika terjadi di pengadilan. Kesalahan tipe I adalah jika hakim menilai
si terdakwa yang tidak bersalah sebagai orang yang bersalah dan, dengan
demikian, memenjarakannya. Sebaliknya, kesalahan tipe II adalah jika hakim
menilai si penjahat tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan dan,
kemudian, membebaskan si penjahat.
Jika kita selisik dengan baik, kesalahan tipe I adalah kesalahan
yang berat karena hakim bisa saja menghukum mati, misalnya, seseorang yang
tidak bersalah. Jelas kesalahan ini mahal harganya. Sebaliknya, kesalahan tipe
II juga bisa menjadi kesalahan yang berat, karena hakim bisa saja membebaskan
seorang pembunuh berdarah dingin. Setiap pembuat kebijakan di level manapun
harus paham dengan kesalahan tipe I dan tipe II dan mana di antara mereka yang
lebih mahal dibandingkan dengan yang lain. Mana yang lebih mahal menyimpulkan
bahwa rakyat sedang tidak mengalami kesulitan ketika mereka benar-benar tidak
bisa membeli segenggam beras (kesalahan tipe II) daripada menyimpulkan bahwa
mereka mampu membeli kebutuhan mereka (kesalahan tipe I) jika pertumbuhan
ekonomi menunjukkan peningkatan?
Mana yang lebih mahal menyimpulkan bahwa banjir bandang bukan
disebabkan oleh penggundulan hutan (kesalahan tipe II) dibandingkan dengan
menyimpulkan bahwa bencana hanya semata-mata bencana (kesalahan tipe I) ketika
penggundulan hutan memang terjadi?
Mana yang lebih mahal biayanya, menyimpulkan
bahwa angkatan perang kita masih bisa menghadang ancaman dari luar negeri
(kesalahan tipe I) dibandingkan dengan menyimpulkan bahwa angkatan perang kita
tidak kuat menghadapi ancaman dari luar negeri (kesalahan tipe II)?
Mana yang lebih mahal biayanya, salah
menyimpulkan bahwa ada anggota DPR kompeten (kesalahan tipe I) dibandingkan
dengan menyimpulkan bahwa ada anggota DPR yang tidak kompeten (kesalahan tipe
II)?
Seorang pembuat kebijakan, harus paham dengan
kedua tipe kesalahan ini. Setidaknya, ia harus dibantu oleh orang yang
benar-benar paham dengan risiko masing-masing tipe kesalahan ini.
Pengujian hipotesis digunakan di sejumlah besar
disiplin ilmu yang berbeda termasuk ilmu sosial dan alam, meskipun banyak orang
mungkin menganggap pengujian hipotesis sebagai sesuatu yang hanya berkaitan
dengan statistik. Karena kedua kesalahan tersebut dengan cara yang tidak dapat
dihindari oleh desain, sangat penting untuk menyadarinya sehingga Anda dapat
merencanakan desain Anda dengan lebih baik sebelum terlambat. Ini adalah
satu-satunya cara untuk menghindarinya agar tidak terjadi dan, karenanya,
menarik kesimpulan yang salah.
“Ada dua hasil yang mungkin: jika hasilnya
mengkonfirmasi hipotesis, maka Anda telah melakukan pengukuran. Jika hasilnya
bertentangan dengan hipotesis, maka Anda telah membuat penemuan. " –
Enrico Fermi
Sebuah hipotesis nol hanya bisa benar atau
salah. Bahkan, terlalu sering berasumsi bahwa hipotesis nol benar sampai saat
ketika bukti yang bertentangan ditemukan. Cara terbaik untuk menghindari kedua
jenis kesalahan ini adalah dengan menerapkan hipotesis di dunia nyata sebanyak
positif.mal kita salah menyatakan adanya perbedaan.
d. Penentuan Nilai (Alpha)
Penentuan nilai alpha adalah besarnya batas
toleransi dalam menerima kesalahan hasil hipotesis terhadap nilai parameter
populasinya. Semakin tinggi taraf nyata yang di gunakan, semakin tinggi pula
penolakan hipotesis nol atau hipotesis yang di uji, padahal hipotesis nol
benar.
Besaran yang sering di gunakan untuk menentukan
taraf nyata dinyatakan dalam %, yaitu: 1% (0,01), 5% (0,05), 10% (0,1),
sehingga secara umum taraf nyata di tuliskan sebagai α0,01, α0,05, α0,1.
Besarnya nilai α bergantung pada keberanian pembuat keputusan yang dalam hal
ini berapa besarnya kesalahan (yang menyebabkan resiko) yang akan di tolerir.
Besarnya kesalahan tersebut di sebut sebagai daerah kritis pengujian (critical
region of a test) atau daerah penolakan ( region of rejection).
Nilai α yang dipakai sebagai taraf nyata di
gunakan untuk menentukan nilai distribusi yang di gunakan pada pengujian,
misalnya distribusi normal (Z), distribusi t, dan distribusi X². Nilai itu
sudah di sediakan dalam bentuk tabel di sebut nilai kritis.
· Tergantung dari tujuan dan kondisi penelitian.
· Nilai (alpha)
yang sering digunakan adalah 10 %, 5 % atau 1 %.
· Bidang kesehatan biasanya digunakan nilai (alpha) sebesar 5 %.
· Pengujian obat-obatan digunakan batas toleransi
kesalahan yang lebih kecil misalnya 1 %, karena mengandung risiko yang fatal.
· Misalkan seorang peneliti yang akan menentukan
apakah suatu obat bius berkhasiat akan menentukan yang kecil sekali , peneliti tersebut tidak akan mau
mengambil resiko bahwa ketidak berhasilan obat bius besar karena akan
berhubungan dengan nyawa seseorang yang akan dibius.
E. Uji One Tail dan Two Tail
1. Uji two tail (dua sisi/dua arah)
Ho :
x = y
Ha :
x ≠ y
Pada uji ini
menggunakan uji dua arah sehingga untuk
mencari nilai Z di tabel kurve
normal, nilainya harus dibagi dua arah yaitu ujung kiri dan kanan dari suatu
kurva normal, sehingga nilai alpha = ½ .
Sebagai contoh bila ditetapkan nilai = 0,05 maka nilai alpha = ½ (0,05) =0,025,
pada = 0.025 nilai Z-nya adalah 1,96.
2.
Uji One Tail
Ho :
x = y
Ha : x > y
Maka uji nya
adalah satu arah, nilai alphanya tetap 5 % (tidak usah dibagi dua) sehingga
nilai Z= 1,65.
F.
Uji Binominal
Distribusi
binomial adalah distribusi yang menghasilkan salah satu dari dua hasil yang saling
mutually exclusive, seperti sakit-sehat, hidup-mati, sukses-gagal dan dilakukan
pada percobaan yang saling independen, artinya hasil percobaan satu tidak
mempengaruhi hasil percobaan lainnya (Bisma Murti, 1996). Uji binomial
digunakan untuk menguji hipotesis tentang suatu proporsi populasi. Data yang
cocok untuk melakukan pengujian adalah berbentuk nominal dengan dua kategori.
Dalam hal ini semua nilai pengamatan yang ada di dalam populasi akan masuk
dalam klasifikasi tersebut. Bila proporsi pengamatan yang masuk dalam kategori
pertama adalah “sukses” = p, maka proporsi yang masuk dalam kategori kedua
”gagal” adalah 1-p = q. Uji binomial memungkinkan kita untuk menghitung peluang
atau probabilitas untuk memperoleh k objek dalam suatu kategori dan n-k objek
dari kategori lain. (Wahid Siulaiman, 2003).
Jika
jumlah kategori pertama (P) dari satu seri pengamatan dengan n sampel adalah k,
maka probabilitas untuk memperoleh P adalah:
k= jumlah objek
berelemen”sukses” dari seri pengamatan berukuran n
Distribusi
binomial disebut juga percobaan Bernouli, dimana percobaan Bernouli dapat
dilakukan pada keadaan :
1. Setiap percobaan menghasilkan salah satu
dari dua kemungkinan hasil yang saling terpisah (mutually exclusive).
2.
Probabilitas “sukses (p)” adalah tetap
dari satu percobaan ke percobaan lainnya.
3. Percobaan-percobaan bersifat independen,
dimana hasil dari satu perobaan tidak mempengaruhi hasil percobaan lainnya.
Dengan uji
binomial, pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya adalah apakah kita
mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa proporsi elemen pada
sampel kita sama dengan proporsi pada populasi asal sampel. Dalam prosedur uji
hipoesa, distribusi binomial kita gunakan sebagai acuan dalam menetapkan
besarnya probabiitas untuk memperoleh suatu nilai “kategori pertama” sebesar
yang teramati dan yang lebih ekstrim dari nilai itu, dari sebuah sampel yang
berasal dari populasi binomial.
Hipotesa dalam Uji
Binomial
Dua sisi : Ho: p = po dan Ha: p ≠ po
Satu sisi : Ho: p <= po dan Ha: p > po
Ho: p >= po dan Ha: p <
po
p = proporsi pada
sampel
po = proporsi pada
populasi
G.
Perhitungan Nilai p secara Manual (Bisma
Murti, 1986):
1.
Dua Sisi
Jika p ≤ po, maka:
Jika p > po, maka:
2.
Satu Sisi :
Jika Ho: p ≥
po dan Ha: p < po, maka:
Jika Ho: p ≤ po
dan Ha: p > po, maka :
H.
Kriteria Pengambilan Keputusan:
Untuk Uji Dua
sisi:
Bila Exact Sig. (2-tailed) < α/2 maka Ho
ditolak
Exact Sig. (2-tailed) > α/2 maka
Ho gagal ditolak
Untuk Uji Satu
sisi:
Bila Exact Sig. (2-tailed) < α maka Ho
ditolak
Exact Sig. (2-tailed) > α maka Ho
gagal ditolak
Contoh Soal :
1.
Apkah pengertian
hipotesisi menurut djarwanto ?
2.
Haruskah seorang peneliti mengulang
kembali uji tesnya, jika hipotesis nihil yang diajukan diterima? Atau tidak
sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kerangka berpikir.
3.
Sebuah
studi berminat melakukan uji fluorescent antibody guna meneliti adanya reaksi
serum setelah pengobatan pada penderita malaria falcifarum. Dari 25 subjek yang
telah disembuhkan, 15 subjek ditemukan bereaksi positif. Jika sampel itu
memenuhi semua asumsi yang mendasari uji binomial, dapatkah kita menyimpulkan
dari data itu bahwa proporsi reaksi positif dalam populasi yang bersangkutan
adalah lebih besar dari 0,5? Misalkan α = 0,05 (Wayne W.Daniel, 2003, hal 67).
4.
Fakta yang
ada menunjukkan bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat C. Seorang peneliti
ingin tahu apakah ada air yang mendidih pada suhu di bawah 100 derajat C.
Hipotesis nol adalah: “Air mendidih pada suhu 1000C”; hipotesis alternatif,
“Air mendidih pada suhu di bawah 100 derajat C. Risiko atau biaya kesalahan
tipe I, menolak air fakta bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat C, lebih
besar daripada kesalahan tipe II, menolak air mendidih pada suhu di bawah 100
derajat C. Nah, jadi jelas bahwa kesalahan tipe I lebih “berbahaya” daripada
kesalahan tipe II. Apakah selalu demikian?
5.
Bagaimanakah
caranya menentukan besarnya suatu taraf nyata ?
Jawaban :
1. Secara etimologis, hipotesis berasal dari dua
kata hypo yang berarti “kurang dari” dan thesis yang berarti pendapat. Jadi,
hipotesis adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang belum final, yang harus
diuji kebenarannya (Djarwanto, 1994 : 13)
2.
Jawabannya
tegas, dalam hal ini bahwa para peneliti tidak diharuskan kembali ke lapangan
untuk mencari data kembali, danmereka tidak dianggap gagal dalam melakukan
penelitian. Para peneliti dalam hal ini, langsungdapat mengambil kesimpulan
atau menginterpretasi hasil analisisnya, berdasarkan kepada hasiluji testing
yang telah dilakukan.Yang perlu diperhatikan di sini adalah proses uji testing
tidak sama dengan proses membuktikandalam ilmu matematika. Testing hipotesis
tidak sama dengan membuktikan. Dalammembuktikan rumus atau soal yang diajukan
dalam matematika, seorang siswa harus mengulangkembali, jika mereka belum bisa
membuktikan ormula yang diajukan. !edangkan dalam
ujihipotesis, peneliti langsung dapat memasukkan pada dua kemungkinan yang ada,
yaitu ditolak atau diterima.
3.
Maka dapat kita selesaikan dengan :
a.
Hipotesa
Ho : p ≤ 0,5 dan
Ha: p > 0,5
b.
Perhitungan
Dari tabel binomial, dengan n=25, x-1=14 dan
Po=0,5, untuk uji satu sisi dengan P = 15/25 = 0,6 > po =0,5, diperoleh
nilai p :
14 25!
p=P(X ≥ 15) = 1 - ∑ -------------- 0,5k 0,525-k
k=0 25! (25-k)!
= 1 – 0,7878
= 0,2122
Karena p = 0,2122
> 0,05. maka Ho gagal ditolak, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa
proporsi reaksi serum di antara populasi yang telah mendapat pengobatan malaria
tidak dapat dikatakan lebih besar secara bermakna dari 0,5.
4.
Mari kita lihat fakta berikut. Manusia
pada dasarnya memiliki kejujuran, namun ada manusia yang tidak jujur. Jika
dibuat menjadi hipotesis penelitian, maka hipotesis nol, “Setiap manusia
bersifat jujur”; sedangkan hipotesis alternatif, “Ada manusia yang tidak
jujur”. Mana yang lebih besar risikonya, mengatakan manusia jujur sebagai
manusia tidak jujur, ataukah mengatakan manusia yang tidak jujur sebagai
manusia jujur? Jelas yang kedua yang lebih berbahaya! Yang pertama, mengatakan
manusia jujur sebagai manusia yang tidak jujur, berarti menolak hipotesis nol.
Sehingga, kesalahan menolak hipotesis nol adalah kesalahan tipe I. Sedangkan
yang kedua, mengatakan manusia yang tidak jujur sebagai manusia jujur, berarti
menolak hipotesis alternatif. Artinya, kesalahan menolak hipotesis alternatif
adalah kesalahan tipe II.
5.
Besaran yang sering di gunakan untuk
menentukan taraf nyata dinyatakan dalam %, yaitu: 1% (0,01), 5% (0,05), 10%
(0,1), sehingga secara umum taraf nyata di tuliskan sebagai α0,01, α0,05, α0,1.
Besarnya nilai α bergantung pada keberanian pembuat keputusan yang dalam hal
ini berapa besarnya kesalahan (yang menyebabkan resiko) yang akan di tolerir.
Besarnya kesalahan tersebut di sebut sebagai daerah kritis pengujian (critical
region of a test) atau daerah penolakan ( region of rejection). Nilai α yang
dipakai sebagai taraf nyata di gunakan untuk menentukan nilai distribusi yang
di gunakan pada pengujian, misalnya distribusi normal (Z), distribusi t, dan
distribusi X². Nilai itu sudah di sediakan dalam bentuk tabel di sebut nilai
kritis.
0 Response to "Jenis Kesalahan Tipe I dan II, Hipotesis dan Kaitannya dengan Uji One Tail dan Two tail "
Posting Komentar